Burung Manguni dan “Opo-opo”
Minahasa
yang menempatkan burung Manguni sebagai figur pokok dan pencantuman
motto “I Yayat U Santi” perlulah kita tahu latar belakang pembuatannya
dan penciptanya. Pada tahun 1967, Pemerintah Kabupaten Minahasa
menyelenggarakan sayembara untuk penciptaan simbol Minahasa,yang
diikuti oleh 4 seniman dan oleh Panitia diputuskan bahwa gambar lambang
terbaik adalah hasil karya dari Adolf Kainde, kemudian dalam sidang
DPRD Minahasa ditetapkan sebagai logo Pemerintah Kabupaten Minahasa.
Adolf Kainde, kelahiran Flores 1937,
bersekolah di Tomohon. Setelah Permesta sebagai tenaga harian kemudian
disamping mengajar di SMA Aquino sebagai staf redaksi Harian Kompas
edisi Sulut dan saat meninggal di Malalayang thn 2000 sebagai Agent
Manager
Bier Bintang. Adolf Kainde dikaruniai
bakat menggambar dan koreografi, dan untuk konsultasi perencanaan
gambar lambang Minahasa, beliau didampingi oleh pamannya Johanis Ngangi,
waktu itu sebagai anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) era Bupati
Letkol. Sumampouw. Bpk. Johanis Ngangi, kelahiran Tonsea Lama 1912,
meninggal 1984 di Tomohon adalah bekas guru Sekolah Rakyat di Tomohon
dan pernah sebagai Anggota DPRD Kabupaten Minahasa, beliau juga memiliki
bakat melukis dan mengarang lagu-lagu Tombulu antara.lain ‘Opo Wana
Natase’ (th.1939).
Adapun dasar pemikiran kedua beliau
tersebut bahwa kata-kata “I Yayat U Santi” dari bahasa Tombulu tua yang
arti harafia ‘acungkan pedang perang’. Dan ini dapat dibuktikan dan
disajikan pada tari-tari perang seperti; seruan dalam tari perang
cakalele “KAWASARAN’ (Kabasaran) adat Minahasa. Inilah konteks
pengertiannya untuk logo Minahasa adalah “Siap berjuang untuk
pembangunan Minahasa”.
Dipilihnya
burung Manguni dari antara jenis burung lain didasarkan pada mithos
leluhur Minahasa bahwa burung Manguni adalah salah satu ciptaan oleh
Roh atau Opo paling atas yang menguasai langit dan bumi. Oleh ‘Opo
Empung Wananatas’ tersebut menugaskan kepada burung Manguni (mauni =
mengamati) untuk menjaga keselamatan anak-cucu Toar-Lumimuut,
berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur dan diberi kemampuan
bunyi siul berbeda untuk signal aman atau bahaya. Penulis banyak tahu
mengenai hal ini dari Srikandi Permesta, Len Karamoy (asal Tomohon),
sebelum Permesta beliau memimpin sekelompok gerilya pecahan dari PPK
(Pasukan Pembela Keadilan) pimpinan Jan Timbuleng.
Burung Manguni yang dinamakan ‘Hoot’
(bahasa Jawa: burung hantu), bentuknya sebesar burung Kakatua, berbuluh
hitam keabu-abuan, matanya bulat membelalak menghadap kedepan, ada pula
jenis burung hantu kecil ‘Tootosik’ dinamakan sesuai bunyi siulannya.
Pada saat “bertugas” mereka bertengger membelakangi arah datangnya
berita, apa bila pertanda baik siulannya syahdu dan apabila ada bahaya
suaranya tergesa-gesa lemah seakan berbisik. Pertanda akan ada
kemenangan mutlak bila ‘hoot’nya nyaring mengalun dan dilakukan berturut
3 kali 9 (‘telu makasiou’). Atas dasar pemikiran ini maka Jan Timbuleng
(sekampung dengan Penulis, Walian) menamakan pasukan Permestanya
‘Brigade 999’ atau Triple Nine.
Masih ada jenis burung malam “Ki’ek”yang
sambil terbang menyambar rendah dengan suara melengking (satu kali
saja) selalu membawa berita ‘awas bahaya sudah dekat’. Ada lagi jenis
burung Kookokuk yang belum pernah dilihat karena tempatnya jauh dalam
hutan, apabila siulan si “kookokuk” nya mendekat menandakan bahaya
semakin dekat dan bila suara jauh melemah artinya lawan telah menjauh.
Pada siang hari ada burung “Menge’ngekek”, sebesar terkukur, buluh
coklat, sayap kuning, ekor hitam panjang apabila tetap bertengger
dibelukar dengan suara tawa mengejek tanda ‘awas waspada’ dan bila dia
terbang rendah memintas didepan dengan suara panjang “nge’ek” berarti
sebaiknya berhenti sebentar atau batalkan perjalanan. Kicauan burung
‘Kuoo’ dan ‘Kowkow’ bersahut-sahutan pada pagi hari menandakan suasana
gembira dan tenteram, dan yang sekali-sekali diselingi suara ngantuk
berat dari burung ‘Mu’kurz’ yang dijuluki roh penjaga hutan yang
kesiangan.
Saya yakin burung-burung tersebut belum
melupakan tugas yang diberikan oleh Penciptanya, namun kemajuan
teknologi komunikasi moderen dan peralatan deteksi mutakhir telah
meng-ambil alih kewajibannya dan mungkin pula burung-burung tersebut
tetap memberi petanda akan peristiwa kekerasan dan bencana yang akan
terjadi, tapi karena habitatnya sudah tergusur jauh kedalam hutan maka
siulan warning-nya sudah tak terjangkau oleh pendengaran kita.
OPO – OPO.
Berikut tentang ‘opo-opo’ yang kini
pengertiannya telah melenceng jauh dari arti yang sebenarnya, kini
istilah opo-opo dianggap oleh sebagian besar generasi sekarang sebagai
suatu perlakuan kerja sama antara roh-roh jahat dengan setan dari
naraka.
Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman
batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi
sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah
dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin
me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai
abad 21 ini.
Para leluhur kita itu yakin bahwa
manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa
manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang
belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan
dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap
bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik
menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat.
Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo
telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan
Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya
dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh
opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’ semua yang hadir melalui
Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula
memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan
beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’
karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki
‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu
Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat
Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas
Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon
dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda
sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda
atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan
dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan
namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat
“Menado’.
Sampai sekarang orang Minahasa bila
hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti
Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan),
jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.
Kembali tentang Opo-Opo kita, dari
generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado
pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah
satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang
lain.
Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas
atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin,
jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal
lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal
peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga
kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan
berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang
ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang
munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup
mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik
dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis
atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’.
Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali
dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya.
(catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu bukan asli Minahasa).
(Penulis : Chep Ngangi)
Paka tu'an wo Paka lawiren ni kita peleng
BalasHapus