Jumat, 17 Mei 2013
Kamis, 16 Mei 2013
WATU PINAWETENGAN BAGIAN DARI SEJARAH MINAHASA
SEJARAH WATU PINAWETENGEN-MINAHASA
Minahasa
merupakan salah satu bagian dari wilayah Prov. Sulawesi Utara, dimana
sebelum dinamakan Minahasa, wilayah ini dikenal dengan nama tanah
MALESUNG.
Keadaan
geografi tanah malesung terdiri dari pegunungan dataran tinggi serta
bukit-bukit. Menurut sejarah pada tahun 1428 menunjukan bahwa penduduk
tanah Malesung pemukimannya terpencar-pencar dan hidup berkelompok
sehingga satu sama lain tidak bisa berkomunikasi terlebih tidak ada
saling bantu membantu dalam hidup kebersamaan, hal ini sering terjadi
dikala para penduduk ini mempertahankan wilayahnya dari serangan /
pengacau yang datang seringkali gagal, demikian halnya pada saat mereka
mengolah pertanian atau lebih sering pada saat berburu selalu terjadi
pertentangan karena ada penduduk yang telah memasuki wilayah lain
sehingga masing-masing saling mempertahankan wilayahnya.
Menyadari
akan hal ini sering terjadi permasalahan maka oleh leluhur atau para
tonaas tanah malesung mencari suatu tempat untuk diadakan pertemuan para
pemimpin suku guna mencari solusi mengatasi masalah yang terjadi di
tanah Malesung, dan setelah mereka mencari tempat maka didapatlah suatu
tempat yang terletak disebuah bukit yang bernama bukit Tonderukan nama
lokasi ini ditemukan oleh J.G.F. Riedel pada tahun 1881 yang berdasarkan
ceritera rakyat disebut “ Watu Rerumeran ne Empung “ atau batu batu
tempat para leluhur berunding yang mana disitu terdapat sebuah batu
besar dan ditempat inilah berkumpul para pemimpin sub etnis Tou Malesung
berikrar untuk menjadi sastu yakni menjadi satu Tou Minahasa sebuah
kata yang berarti “ Mina “ (menjadi), “ Esa “ (satu) dalam perkembangannya sehingga tercetuslah menjadi MINAHASA.
Watu
Pinawetengan dalam sejarah sampai saat ini banyak penafsiran-penafsiran
yang timbul melalui penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti
yang antaranya mengataka bahwa Watu Pinawetengan itu adalah :
- Tempat pertemuan para pemimpin Sub Etnis Minahasa untuk membagi-bagi Wilayah dan bahasa masing-masing etnis
- Sebagai tempat pertemuan para pemimpin sub Etnis untuk bermusyawarah menjadikan tanah Minahasa
- Sebagai tempat berunding para leluhur
- Tempat berikrar untuk bersatu melawan gangguan dari luar seperti Tasikela (Spanyol) dll.
Melihat
beberapa pandangan tentang pengertian dan fungsi Watu Pinawetengan maka
dapat disimpulkan bahwa Watu Pinawetengan merupakan suatu tempat
berunding para pemimpin sub etnik yang ada di Minahasa untuk berikrar
bahwa sub etnik di Minahasa walaupun hidup berkelompok tapi berstu untuk
menghalau para pengacau dari luar serta membangun wilayah-wilayah yang
ada di Minahasa yang ditandai dengan coretan-coretan yang ada diatas
patu tersebut..
Watu
Pinawetengan sampai saat ini tidak akan dilupakan oleh Tou Minahasa
baik yang tinggal di Minahasa maupun yang di luar Minahasa karena tempat
ini merupakan legenda hidup masyarakat Minahasa yang memiliki nilai
sacral sehingga tidak akan hilang dari hati Tou Minahasa.
Pakatuan Wo Pakalawiren
Legenda Watu Pinawetengan
Tanah
minahasa yang terletak di provinsi Sulawesi utara, dahulu namanya
adalah Malesung. Daerahnya terdiri dari pengunungan, perbukitan, dataran
tinggi, dan dikelilingi lautan, sehingga disebut Malesung. Orang
pertama yang hidup ditanah ini adalah Karema yang adalah seorang Walian
(Imam) wanita, kemudian seorang wanita yang bernama Lumimuut, dan
seorang pria bernama Toar. Lumimuut dan Toar dipertemukan oleh karema
sebagai sepasang suami-istri. Toar dan Lumimuut tinggal dan beranak cucu
didaerah yang disebut Wullur-Mahatus, yang terletak didaerah selatan
Malesung (Minahasa). Keturunan Toar Lumimuut ini semakin lama semakin
bertambah banyak sampai didaerah Watu Nietakan di Wulur Mahatus,
sehingga terjadinya pembagian golongan masyarakat dari keturunan Toar
Lumimuut yang terdiri dari : golongan Makarua Siou (2 x 9), yang
mengatur kegiatan keagamaan dan adat istiadat, yaitu para Walian dan
Tonaas, golongan Makatelu Pitu (3 x 7), yaitu golongan Teterusan yang
terdiri dari para Waranei (Prajurit) dan pimpinannya, yang mengatur
keamanan, dan golongan Pasiowan Telu yang terdiri dari rakyat biasa,
petani, dan pemburu. Karena semakin bertambah banyak masyarakat dari
keturunan Toar Lumimuut tersebut mereka akhirnya memutuskan untuk kelar
berpencar untuk mencari tanah yang baru dan Tumami (membuka tanah
bermukim yang baruh).
Ketika mereka terpencar-pencer, mereka
menghadapi masalah, seperti tidak bisa berkomunikasi, saling berebut
wilayah atau tanah, dan pertikaian antar golongan, karena tidak adanya
penentuan dan pengaturan serta cara pembagian yang adil dalam memilih
dan menentukan tempat Tumami. Toar dan Lumimuut kemudian menyuruh
anak-anaknya dari golongan Makatelu Pitu untuk menghimpun semua penghulu
dari ketiga golongan tersebut untuk berkumpul dan menyelesaikan
permasalahan yang timbul. Alasan Toar dan Lumimuut memilih golongan
Makatelu Pitu karena posisi mereka pada waktu itu adalah netral,
sehingga mereka bisa menjadi juru damai dan penengah. Mereka lalu
mencari tempat untuk bertemu dan bersama-sama mencari jalan keluar dari
masalah yang dihadapi. Akhirnya mereka menemukan sebuah tempat yang
terletak di kaki pegunungan Tonderukan. Di tempat itulah kemudian mereka
berkumpul mengadakan musyawarah untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Di tempat inilah, tepatnya pada sebuah batu di kaki pegunungan
Tonderukan diadakan musyawarah pembagian wilayah dan tanah pencaharian
dan pembagian suku yaitu Touwtewoh (Tonsea), Touwsendangan/Touwrikeran
(Toulour), Toumayesu, dan Toukinembut/Toukembut/Toupakewa (Tountembuan),
dan juga di tempat inilah Tou (Orang) Malesung berikrar untuk bersatu,
walaupun hidup berkelompok dan berbeda wilayah, juga bersatu untuk
menghalau serangan-serangan dari luar, termasuk tekanan dan serangan
dari daerah Bolaang-Mongondow pada waktu itu (Sekitar Abad 15), dan juga
bangsa Spanyol (Tasikela atau Kastela) pada tahun 1617 sampai 1645,
sehingga muncul perubahan dari “Malesung” menjadi “Maesa” atau “Mina
Esa” yang berarti “Menjadi Satu” yang kemudian berkembang menjadi
“MINAHASA”. Seja itulah kemudian penduduk mulai tersebar keseluruh
Minahasa, berkembang menjadi suku dan bahasa : Tonsea, Toumbulu,
Tountemboan, Toulour, Tounsawang, kemudian penduduk pendatang dengan
nama Bantik, Pasan, dan Panosakan.
Oleh
karena itu, batu tempat bermusyawarah atau perundingan yang terletak
dibawah kaki pegunungan Tonderukan ini dinamakan sebagai “Watu
Pinawetengan” yang artinya “Batu tempat pembagian (Meweteng). Menurut
makna tua Minahasa, Pinawetengan juga bermakna sebagai “Janji atau
Ikrar/Sumpah yang disepakati bersama (dalam satu perundingan atau
musyawarah)”. Lokasi ini ditemukan kembali oleh J. G. F. Riedel pada
tahun 1881. Dari catatan penelitian Riedel dan Schwarz pada tahun 1862
dan bukti-bukti peninggalan lisan leluhur Minahasa, diperkirakan Watu
Pinawetengan berasal dari abad VII masehi. Berdasarkan cerita rakyat
Minahasa dahulu, Watu Pinawetengan disebut sebagai “Watu Rerumeran ne
Empung” atau batu tempat berunding para leluhu, dimana para pemimpin
sub-etnis Tou Malesung berkumpul dan kemudian berikrar untuk menjadi
satu sebagai Tou (Orang) MInahasa (sebuah kata yang berarti “Mina”
(Menjadi), dan “Esa” (Satu), dan kemudian menjadi MINAHASA)
_(Sumber Istimewa)_WATU PINAWETENGAN: Antara Mitos dan Realita (Frisky Tandaju)
Label:
esei
|
Watu
Pinawetengan yang sekarang ini di klaim sebagai pusat kebudayaan
Minahasa masih menyimpan banyak misteri. Adalah sebuah tulisan kuno yang
terdapat di permukaan batu tersebut, kini mulai diartikan orang
beragam. Sayangnya belum ada arti dan dasar-dasar akademisnya. Benarkah
tulisan tersebut merupakan tulisan tangan dari leluhur Minahasa atau ada
suku terdahulu sebelum Minahasa yang pernah tinggal di tanah ini dan
kemudian tersingkirkan seperti suku Aborigin di Australia dan suku
Indian di Amerika, atau mungkin hanya guratan-guratan tanpa arti yang di
buat oleh orang iseng semata. Faktanya telah dilakukan penelitian demi
penelitian demi mengungkap arti tulisan tersebut, tapi belum ada satupun
yang dapat menyimpulkan artinya.
Di
radius 3 km dari Watu Pinawetengan berada saat ini tidak ditemukan
satupun situs sejarah lain yang dapat mendukung bahwa tempat tersebut
adalah tempat pembagian ataupun tempat pertemuan. Hanya saja ada tulisan
tulisan dari beberapa orang yang bukan asli minahasa dan mungkin
dijadikan referensi oleh sebagian orang guna mengartikan guratan-guratan
di watu tersebut. Batu meja yang di sebut –
sebut sebagai tempat para Dotu berkumpul untuk melakukan musyawarah di
kompleks Watu Pinawetengan sendiri tidak jelas posisi dan eksistensinya,
dan fakta bahwa tak satupun ditemukan waruga di kompleks Watu
Pinawetengan dalam radius tersebut.
Suatu
peradaban dimulai ketika manusia, hewan dan tumbuhan hidup dalam suatu
lingkungan hidup dan saling melakukan interaksi. Dotu – dotu yang kita
ketahui pasti mereka memiliki tempat tinggal atau tempat beristirahat,
tempat mengambil air dan tempat mereka beristirahat di akhir hayat yaitu
waruga. Jika memang Watu Pinawetengan merupakan pusat Minahasa, pasti
akan ada peninggalan di sekitaran Watu tersebut.
Waktu adalah satu faktor penting yang menentukan budaya
suatu masyarakat dalam suatu lingkup masa. Kini bukan hal yang mutlak
jika orang Minahasa wajib tau akan arti dari tulisan tersebut, terlepas
dari benar tidaknya tulisan di Watu itu adalah simbol-simbol penting
atau hanya guratan tanpa arti namun terutama
bila manusia kini tak mampu mencerna dan menyerap arti pembelajaran
yang terkandung di dalamnya. Benar bahwa adalah suatu hal yang tragis
bila kita tak tau akan sejarah masa lalu tetapi adalah lebih tragis lagi
bila masa lalu yang seharusnya menjadi motivasi dalam pengenalan
identitas diri diterapkan mentah-mentah ke masa kini. Terlebih, memahami
sejarah yang tertuang dalam suatu simbol memerlukan kedalaman dan
kejernihan batin setiap pribadi. Dengan arti lain, simbol-simbol
peninggalan sejarah seharusnya bisa membuat manusia lebih bijak dalam
bersikap, terutama saat menjalani kehidupan. Dan bukan justru
membelenggu manusia ke dalam romantisme kehidupan masa lampau yang tidak
produktif. Contonya pagelaran Seni Budaya yang dilaksanakan di Watu
Pinawetengan baru-baru ini dilaksanakan secara ritus tetapi sebenarnya
masyarakat Minahasa sekarang ini tidak lagi melakukan ritual seperti
itu. Ritus seperti itu sebenarnya dilakukan oleh sekelompok orang yang
hanya memanfaatkan budaya dan leluhur demi keuntungan pribadi semata.
Revolusi
budaya kini telah terjadi di Minahasa, dimana seiring dengan
berjalannya waktu, banyak sudah kebudayaan Minahasa yang terkontaminasi
oleh budaya luar contohnya kebudayaan asli seperti tari maengket kini
telah menjadi cha-cha, klarinet kini telah menjadi band, dan hal itu
adalah wajar karena sebenarnya daerah yang multi kultur ini sangat
terbuka dengan perubahan. Adalah hal penting yang perlu kita sadari
bersama bahwa semangat masa lalu adalah titik tumpu, semacam fondasi
ketika kita membangun rumah, untuk menjangkau masa depan dan Identitas
Orang Minahasa adalah keterbukaan dalam menyambut perubahan dan semangat
Mapalus dalam mencapai tujuan bersama.
I Jajat U Santi
Pengantar for Orang Minahasa !
DR. G.S.S.J. Ratulangie bilang : "Setiap Bangsa yang ingin mempertahankan jati dirinya, harus menghargai warisan suci tradisi dan budaya dari para leluhurnya; kita harus memelihara dan mempertahankan tradisi dan budaya bangsa Minahasa dengan segenap kemampuan dan semangat, karena semangat itu sendiri tidak lain mengandung tradisi dan budaya Minahasa"Rabu, 15 Mei 2013
LAMBANG MINAHASA
Burung Manguni dan “Opo-opo”
Minahasa
yang menempatkan burung Manguni sebagai figur pokok dan pencantuman
motto “I Yayat U Santi” perlulah kita tahu latar belakang pembuatannya
dan penciptanya. Pada tahun 1967, Pemerintah Kabupaten Minahasa
menyelenggarakan sayembara untuk penciptaan simbol Minahasa,yang
diikuti oleh 4 seniman dan oleh Panitia diputuskan bahwa gambar lambang
terbaik adalah hasil karya dari Adolf Kainde, kemudian dalam sidang
DPRD Minahasa ditetapkan sebagai logo Pemerintah Kabupaten Minahasa.
Adolf Kainde, kelahiran Flores 1937,
bersekolah di Tomohon. Setelah Permesta sebagai tenaga harian kemudian
disamping mengajar di SMA Aquino sebagai staf redaksi Harian Kompas
edisi Sulut dan saat meninggal di Malalayang thn 2000 sebagai Agent
Manager
Bier Bintang. Adolf Kainde dikaruniai
bakat menggambar dan koreografi, dan untuk konsultasi perencanaan
gambar lambang Minahasa, beliau didampingi oleh pamannya Johanis Ngangi,
waktu itu sebagai anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) era Bupati
Letkol. Sumampouw. Bpk. Johanis Ngangi, kelahiran Tonsea Lama 1912,
meninggal 1984 di Tomohon adalah bekas guru Sekolah Rakyat di Tomohon
dan pernah sebagai Anggota DPRD Kabupaten Minahasa, beliau juga memiliki
bakat melukis dan mengarang lagu-lagu Tombulu antara.lain ‘Opo Wana
Natase’ (th.1939).
Adapun dasar pemikiran kedua beliau
tersebut bahwa kata-kata “I Yayat U Santi” dari bahasa Tombulu tua yang
arti harafia ‘acungkan pedang perang’. Dan ini dapat dibuktikan dan
disajikan pada tari-tari perang seperti; seruan dalam tari perang
cakalele “KAWASARAN’ (Kabasaran) adat Minahasa. Inilah konteks
pengertiannya untuk logo Minahasa adalah “Siap berjuang untuk
pembangunan Minahasa”.
Dipilihnya
burung Manguni dari antara jenis burung lain didasarkan pada mithos
leluhur Minahasa bahwa burung Manguni adalah salah satu ciptaan oleh
Roh atau Opo paling atas yang menguasai langit dan bumi. Oleh ‘Opo
Empung Wananatas’ tersebut menugaskan kepada burung Manguni (mauni =
mengamati) untuk menjaga keselamatan anak-cucu Toar-Lumimuut,
berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur dan diberi kemampuan
bunyi siul berbeda untuk signal aman atau bahaya. Penulis banyak tahu
mengenai hal ini dari Srikandi Permesta, Len Karamoy (asal Tomohon),
sebelum Permesta beliau memimpin sekelompok gerilya pecahan dari PPK
(Pasukan Pembela Keadilan) pimpinan Jan Timbuleng.
Burung Manguni yang dinamakan ‘Hoot’
(bahasa Jawa: burung hantu), bentuknya sebesar burung Kakatua, berbuluh
hitam keabu-abuan, matanya bulat membelalak menghadap kedepan, ada pula
jenis burung hantu kecil ‘Tootosik’ dinamakan sesuai bunyi siulannya.
Pada saat “bertugas” mereka bertengger membelakangi arah datangnya
berita, apa bila pertanda baik siulannya syahdu dan apabila ada bahaya
suaranya tergesa-gesa lemah seakan berbisik. Pertanda akan ada
kemenangan mutlak bila ‘hoot’nya nyaring mengalun dan dilakukan berturut
3 kali 9 (‘telu makasiou’). Atas dasar pemikiran ini maka Jan Timbuleng
(sekampung dengan Penulis, Walian) menamakan pasukan Permestanya
‘Brigade 999’ atau Triple Nine.
Masih ada jenis burung malam “Ki’ek”yang
sambil terbang menyambar rendah dengan suara melengking (satu kali
saja) selalu membawa berita ‘awas bahaya sudah dekat’. Ada lagi jenis
burung Kookokuk yang belum pernah dilihat karena tempatnya jauh dalam
hutan, apabila siulan si “kookokuk” nya mendekat menandakan bahaya
semakin dekat dan bila suara jauh melemah artinya lawan telah menjauh.
Pada siang hari ada burung “Menge’ngekek”, sebesar terkukur, buluh
coklat, sayap kuning, ekor hitam panjang apabila tetap bertengger
dibelukar dengan suara tawa mengejek tanda ‘awas waspada’ dan bila dia
terbang rendah memintas didepan dengan suara panjang “nge’ek” berarti
sebaiknya berhenti sebentar atau batalkan perjalanan. Kicauan burung
‘Kuoo’ dan ‘Kowkow’ bersahut-sahutan pada pagi hari menandakan suasana
gembira dan tenteram, dan yang sekali-sekali diselingi suara ngantuk
berat dari burung ‘Mu’kurz’ yang dijuluki roh penjaga hutan yang
kesiangan.
Saya yakin burung-burung tersebut belum
melupakan tugas yang diberikan oleh Penciptanya, namun kemajuan
teknologi komunikasi moderen dan peralatan deteksi mutakhir telah
meng-ambil alih kewajibannya dan mungkin pula burung-burung tersebut
tetap memberi petanda akan peristiwa kekerasan dan bencana yang akan
terjadi, tapi karena habitatnya sudah tergusur jauh kedalam hutan maka
siulan warning-nya sudah tak terjangkau oleh pendengaran kita.
OPO – OPO.
Berikut tentang ‘opo-opo’ yang kini
pengertiannya telah melenceng jauh dari arti yang sebenarnya, kini
istilah opo-opo dianggap oleh sebagian besar generasi sekarang sebagai
suatu perlakuan kerja sama antara roh-roh jahat dengan setan dari
naraka.
Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman
batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi
sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah
dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin
me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai
abad 21 ini.
Para leluhur kita itu yakin bahwa
manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa
manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang
belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan
dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap
bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik
menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat.
Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo
telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan
Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya
dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh
opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’ semua yang hadir melalui
Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula
memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan
beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’
karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki
‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu
Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat
Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas
Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon
dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda
sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda
atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan
dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan
namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat
“Menado’.
Sampai sekarang orang Minahasa bila
hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti
Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan),
jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.
Kembali tentang Opo-Opo kita, dari
generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado
pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah
satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang
lain.
Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas
atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin,
jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal
lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal
peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga
kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan
berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang
ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang
munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup
mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik
dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis
atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’.
Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali
dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya.
(catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu bukan asli Minahasa).
(Penulis : Chep Ngangi)Share this:
Minggu, 12 Mei 2013
Rabu, 01 Mei 2013
"TIGA PRIBADI DALAM SATU HATI YANG TERSAKITI"
@ TIGA HAL YANG TERSULIT DARIKU ADALAH
= JATUH CINTA
= MELUPAKAN ORANG YANG BISA MEMBUAT AKU JATUH CINTA
= MENCINTAI ORANG YANG TELAH MENGHIANATI CINTAKU
@ TIGA HAL YANG SANGAT MUDAH BAGIKU ADALAH
= MENGASIHI MUSUH
= MENGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH
= MENDOAKAN MUSUH DAN ORANG YANG BERSALAH
@ DALAM HIDUPKU HANYA ADA TIGA PRIBADI YANG DIIJINKAN TUHAN UNTUK KUCINTAI DENGAN TULUS
= YANG PERNAH MENJADI PACARKU
= YANG MENJADI SUAMIKU
= YANG PERNAH MENJADI KEKASIHKU
@ KEHADIRAN MEREKA DALAM HIDUPKU BUKAN KARENA KEBETULAN TAPI KARENA ANUGERAH ILAHI
.....TAPI YANG SANGAT AKU SESALI ADALAH...
@ KETIGANYA TELAH MEMBOHONGIKU DAN MENGHIANATIKU
HAL itu diketahui oleh BAPAku yang sangat MENGENAL aku karena IA yang menCIPTAkan aku...
@ TIGA HAL YANG TERSULIT DARIKU ADALAH
= JATUH CINTA
= MELUPAKAN ORANG YANG BISA MEMBUAT AKU JATUH CINTA
= MENCINTAI ORANG YANG TELAH MENGHIANATI CINTAKU
@ TIGA HAL YANG SANGAT MUDAH BAGIKU ADALAH
= MENGASIHI MUSUH
= MENGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH
= MENDOAKAN MUSUH DAN ORANG YANG BERSALAH
@ DALAM HIDUPKU HANYA ADA TIGA PRIBADI YANG DIIJINKAN TUHAN UNTUK KUCINTAI DENGAN TULUS
= YANG PERNAH MENJADI PACARKU
= YANG MENJADI SUAMIKU
= YANG PERNAH MENJADI KEKASIHKU
@ KEHADIRAN MEREKA DALAM HIDUPKU BUKAN KARENA KEBETULAN TAPI KARENA ANUGERAH ILAHI
.....TAPI YANG SANGAT AKU SESALI ADALAH...
@ KETIGANYA TELAH MEMBOHONGIKU DAN MENGHIANATIKU
HAL itu diketahui oleh BAPAku yang sangat MENGENAL aku karena IA yang menCIPTAkan aku...
Langganan:
Postingan (Atom)